Selasa, 01 November 2011

Gayatri


 Gayatri menghela nafas panjang. Ditatapnya sekali lagi kertas putih di tangannya itu,kemudian dengan pandangan kecewa kertas putih itu dilipatnya kembali seperti semula, seperti ketika pertama kali dia dapatkan dari suaminya. Kembali dia menghela nafas. Tampak gurat kesedihan semakin menjalar di raut wajahnya. Bagaimana  dia tidak kecewa. Selembar kertas putih tadi,adalah sebuah surat penugasan untuk suaminya. Sebuah surat yang akan menjauhkan dia dari suaminya. Yang mungkin untuk sementara waktu,atau untuk selamanya.
Memang sudah kewajibannya sebagai istri seorang tentara,untuk selalu mengikhlaskan suaminya bertempur demi negara. Seharusnya dia bangga,karena lusa suaminya akan dikirim ke perbatasan untuk ikut serta mengamankan keadaan. Tapi sebagai manusia biasa,dalam hati kecilnya pun ada suatu perasaan sedih karena harus berpisah dengan Suwondo,suaminya.
Ditatapnya kamar pengantin yang baru mereka tempati 1 bulan ini. masih jelas di ingatannya,kemarin dia dan suaminya tampak bahagia. Menyalami undangan yang datang,dan dengan wajah berseri-seri menikmati kebersamaan mereka. Tapi hari ini berbeda,dia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa suaminya harus di kirim ke medan perang. Adilkah ini? jika pengantin baru harus dipisahkan oleh surat perintah? Tapi sekali lagi dia mengingat sesuatu. Inilah resiko menjadi istri seornag tentara.
“Kamu benar akan pergi?”tanyanya sambil memeluk suaminya erat sekali. Sementara itu wajahnya telah basah oleh linangan air mata.
Suwondo tersenyum. Dia berusaha tegar,meskipun dia juga tak dapat menyembunyikan perasaan sedihnya.
“Masih ingatkah kau dengan perjanjianmu sebelum pernikahan?”tanyanya pelan.” Inilah resiko menjadi istri seorang prajurit. Kau tak usah sedih. Ini tugasku,amanat yang diberikan negara untukku.”
Gayatri mengangguk pelan.Ditatapnya wajah suaminya itu lekat-lekat. Wajah yang ramah dan tegar. Gayatri menyadari bahwa inilah resiko menjadi istri seorang prajurit. Dan benar apa yang dikatakan suaminya,dia tidak boleh sedih. Justru dia harus tersenyum,ketika lusa suaminya akan berangkat ke perbatasan beberapa bulan lamanya. Iya,dia tak boleh bersedih.

Ketika hari keberangkatan Suwondo tiba,Gayatri memang tampak tegar. Dia berusaha menyembunyikan perasaan sedihnya. Karena dia yakin,suaminya akan pulang beberapa bulan lagi. Membawa kabar berita kemenangannya di medan pertempuran.
Gayatri mulai menyelami kehidupan ini sendiri sekarang. Meskipun Suwondo jauh darinya,tapi hatinya selalu merasa Suwondo berada disampingnya. Menemaninya tidur dan selalu menjaganya. Gayatri tak pernah sedikitpun melupakan Suwondo. Jika terkadang dadanya sesak bila merindukan suaminya,dia berusaha menghibur diri dengan menyulam. Dan akhirnya sebuah syal warna biru tua itu jadi. Dia bermaksud ingin memberikannya pada Suwondo ketika dia pulang nanti.
Tak disangka,2 bulan kemudian,Gayatri menyadari bahwa dirinya mengandung. Kebahagiannya melimpah ruah. Ingin sekali dia menyusul Suwondo ke medan pertempuran dan memberitahu kabar bahagia ini. anak yang diharapkan Suwondo dan dirinya,sebentar lagi akan lahir ke dunia. Dan anak itu juga pasti akan bangga,memiliki ayah seorang prajurit pemberani seperti suaminya.
Siang itu udara terasa panas. Gayatri berdiri di depan jendela sambil mengelus-elus perutnya yang sudah buncit. Ya,7 bulan telah berlalu sepeninggal Suwondo ke medan pertemuran. Dan usia kandungannya pun telah menginjak 7 bualn. Sebentar lagi anak itu pun akan lahir. Di tangan kirinnya memegang syal warna biru tua itu. Diamatinya dengan seksama,kemudian dielusnya pelan-pelan.
Dia baru menyadari lamunannya ketika terdengar pintu diketuk oleh seseorang.
Pelan-pelan Gayatri membuka pintu. Seorang laki-laki dengan baju militer. Perasaannya menjadi tidak enak.
“Ibu Gayatri ini ada surat.” Kata lelaki itu sopan.
Bergetar tangannya menerima surat itu. Dibukanya pelan-pelan dan kemudian dibacanya dengan seksama kertas putih itu. Kertas yang bentuk dan warnanya sama seperti yang diberikan Suwondo 7 bulan lalu.
Betapa terkejutnya dia membaca surat itu.
“Ja…Jadi….”katanya terbata-bata.
“Iya ibu,suami ibu gugur dalam pertempuran itu.”jawab laki-laki itu dengan raut muka sedih.”Tapi akhirnya,kami menang ibu. Berkat bantuan suami ibu.”
Gayatri terduduk lesu,air mata bercucuran di pipinya. Suwondo telah pergi meninggalkannya. Dia telah tiada. Ditatapnya syal warna biru tua dan perutnya yang membuncit itu. Anaknya akan lahir tanpa ayah. Dan syal biru ini,tak akan pernah sampai ke tangan Suwondo. Kenapa ini semua harus terjadi,ketika kami mulai akan membangun sebuah kehidupan yang baru? Kenapa Suwondo pergi secepat ini?
Perlahan-lahan Gayatri mulai bangun dan menyeka air matanya. Dia ingat pesan suaminya. Dia tak boleh sedih. Inilah resiko menjadi istri seorang prajurit. Harus merelakan semuanya. Tapi dalam hati dia bangga,pertempuran itu usia. Dan negara inilah yang  menjadi pemenangnya. Semua berkat Suwondo,meskipun dia harus mempertaruhkan nyawanya demi negara.
 Gayatri tersenyum. diusapnya perutnya yang buncit itu sambil bergumam.
“Kau harus bangga nak,ayahmu adalah pahlawan bangsa.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar