Rabu, 02 November 2011

Lost


Jam menunjukkan pukul 12.30 siang itu disebuah bandara. Panas terik luar biasa. Diantara orang-orang yang berlalu lalang keluar masuk bandara tampak seorang cowok yang berumur sekitar 25 tahun keluar dari bandara. Tangan kanannya menyeret koper,sedang tangan kirinya diletakkan di dalam saku celananya.  Dia terlihat tampan dengan pakaian dan perawakannya yang tinggi tegap.
            “ Azka….!” Tiba-tiba seseorang memanggilnya.
            Azka menoleh,kemudian tersungging senyum ketika dia merasa mengenal orang yang memanggilnya itu.
            “Boby….” Katanya pelan kemudian menghampiri sahabatnya itu. Keduanya saling berpelukan,seperti kawan yang tak bersua lama. Ya, 5 tahun yang lalu Azka mendapatkan beasiswa kuliah di Harvard University. Dan selama 5 tahun pula dia tak pulang ke Indonesia. Maka pantas saja jika kedua sahabat itu saling rindu. Boby adalah sahabat Azka sejak SMA.
            “ Wah 4 tahun tak bertemu, kau terlihat sangat berbeda Ka…” celoteh Boby.” Tambah tampan aja…”
            Azka tertawa.
            “ kau juga Bob,tambah tambun saja,” komentarnya.
            “iya ini,semenjak kepergianmu,aku depresi terus meningkatkan makan.” Gurau Boby. Keduanya tertawa.
            “ Mau kangen-kangenan ria di Indonesia Ka?” tanya Boby kemudian.
            “Iya, aku rindu café tongkrongan kita Bob,” jawab Azka.” Masih adakah…?”
            “ masihlah….”jawab Boby.”okey,nanti sore kita ke sana…”
            “ oke aku siap.”          
            Keduanya tertawa lagi.
            “ em….Bob….,” kata Azka kemudian tapi tak meneruskannya. Sepertinya dia ingin menanyakan sesuatu.
            “ Ada apa?”
            Azka menggeleng.
            “ Ah nggak,nanti saja,” jawabnya.” Yok pulang…”
            Boby menatap Azka dengan pandangan heran.kenapa anak ini,pikirnya. Tapi kemudian lamunannya tersadar ketika Azka menariknya untuk pulang.

            Dulu sebelum berangkat ke Harvard Aska mempunyai seorang sahabat perempuan bernama Dini. Dia gadis yang baik,cantik dan sangat dewasa menurutnya. Hingga akhirnya ketika kodrat membuktikan bahwa perempuan dan laki-laki ditakdirkan untuk saling mencintai,begitupun perasaan Aska yang bermula hanya sebagai sahabat berubah menjadi perasaan sayang yang amat dalam. Dan persahabatan itu bersambut ketika Dini juga mempunyyai perasaan yang sama dengannya. Namun sayang, setelah 2 bulan pacaran tiba-tiba Aska harus meninggalkan Dini ke Harvard University. Kedua-duanya terpisah dalam hubungan cinta jarak jauh. Awalnya biasa saja,tapi setelah 6 bulang long distance Dini tiba-tiba hilang seolah ditelan bumi. Tapi azka masih ingat Dini pernah mengatakan sesuatu sebelum keberangkatannya ke Harvard.
            “ Aku mau nungguin kamu di sini Ka, aku janji akan setia di sini……” Ujar dini lemah lembut.
            Kata-kata itulah yang membuat Azka percaya Dini masih menunggunya di Indonesia meskipun tak ada sedikitpun kabar darinya. Dan kata-kata Dini itu pulalah yang membuat Azka tak mencari gadis lain di luar negeri.
            Tiba-tiba suara handpone menyentak lamunanya.
            “ Iya….kenapa Bob…?” tanya Azka setelah tau Boby yang menelponnya.
            “ baikalah setengah jam lagi aku nyampek…..tunngu ya…..” katanya kemudian menutup telpon.
            Azka mendesah,setelah menggeliat sedikit kemudian bergegas menuju kamar mandi.

            “Bob,ada yang mau aku tanyain ke kamu…” kata Azka pelan sambil menyeruput cappucino hangatnya. Suasana cafe sore itu terlihat ramai. Dulu setiap pulang kuliah Azka dan Dini sering mampir ke kafe ini menghabiskan waktu. Atau terkadang bersama Boby.
            “ apa…?”
            “ bagaimana kabar Dini…”
            Boby terdiam, kemudian menatap Azka.
            “ ku kira kau sudah melupakannya ka…” jawabnya datar.
            Azka menggeleng.
            “Aku tak bisa melupakannya Bob.” Guumamnya.” Dimana dia?”
            Boby mendesah pelan.
            “6 bulan setelah kamu melanjutkan kuliahmu di Harvard,dia pindah rumah…” terang Boby pelan.
            “ Pindah?” Azka tampak terkejut. “ iya,6 bulan setelah aku di sana,dia tak menghubungiku sama sekali. Aku huubungi juga tak bisa,”
            “ menurut kabar yabg aku terima,ayahnya bangkrut. Kemudian dini dan keluarganya pindah rumah.”
            “ pindah kemana….?”
            Boby menggeleng.
            “ aku tak tahu…”
            Azka terdiam,sepertinya sudah habis pertanyaan tentang Dini yang akan diajukannya ke Boby. Azka merasa badannya lemas. Dia terkejut dengan kejadian yang menimpa keluarga Dini. Dan yang membuatnya semakin tak bersemangat,dia tak tahu keberadaan Dini sekarang. Azka bingung akan mencari Dini kemana.
            “ apa kamu     masih berharap dengannya Ka?” tanya Boby kemudian.
            Azka mendesah.
            “ Iya Bob,aku masih sangat mencintainya.” Jawabnya.” Sampai aku menolak tawaran pekerjaan disana,karena aku ingin pulang ke Indonesia dan menjalani kehidupanku seperti dulu bersama Dini,”
            Boby mengangguk,tampak mengerti dengan perasaan sahabtnya itu. Dalam hati dia merasa kagum melihat kesetiaan sahabatnya itu.
            “ terus rencana kamu sekarang…?”
            “ Entahlah Bob. Biarkanlah seperti air. Kalau dia jodohku pasti aku akan dipertemukan lagi dengannya suatu saat nanti.” Jawab Azka penuh harap.
            Boby tersenyum. Kemudian menepuk pundak sahabatnya.
             “kau pasti akan bertemu dia lagi……..” hiburnya. Azka mengangguk,pikirannya menerawang kepada gadis cantik itu. Dimana Dini sekarang,sedang apa……
            Sementara café bertambah ramai…..


            Entah kenapa sore ini Azka ingin jalan-jalan sendirian tanpa ditemani Boby. Tujuannya adalah pantai. Mungkin nyaman jam segini di pantai,pikirnya.
            Angin pantai mendesir-desir membelah rambut Azka yang tertata rapi itu. Angin memang berdesir lembut,cuaca tampak cerah. Maka tak heran jika sore ini banyak yang menghabiskan waktu di situ. Ada rombongan keluarga, kakek nenek,bahkan tak sedikit para remaja menghabiskan waktunya di pantai ini.
            Azka menyapukan pandangannya ke sekeliling, menikmati pemandangan yang ada dihadapannya. Tapi pandangannya berhenti seketika,ketika dilihatnya tak jauh beberapa meter di depannya tampak seseorang yang dia kenal.
            “ Dini!” pekiknya dalam hati. Azka seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Iya,agak jauh didepannya Dini sedang asik merapikan barang-barang dihadapnnya. Tampaknya dia akan beranjak dari tempat itu.
            “Dini…” sapa Azka ketika sampai di depannya.
            Dini menoleh. Dia sangat terkejut,seolah tak percaya jika Azka berdiri disampingnya.
            “ Dini,ini aku Azka….” Gumam Azka lagi ketika dilihatnya Dini masih terdiam didepannya. Azka memperhatikan Dini,wajah itu sama  sekali tak berubah. Masih sama seperti 5  tahun yang lalu,saat mereka bersama.
            “ ini benar kamu Azka…” ujar Dini masih tak percaya.
            Azka mengangguk.
            “ Iya dini,ini aku.         Kamu kemana saja?” tanya Azka lagi. “ bagaimana keadaanmu?”
            Dini tersenyum.
            “ aku baik Azka.kamu?”
            “ seperti yang kau lihat Din,aku tak berubah. Masih seperti dulu.”
            “ Iya,kau tak berubah…’’
            Aska tersenym.
            “ kemana kamu selama ini tak ada kabar?” tanya Azka kemudian.
            Raut wajah Dini tiba-tiba berubah.
            “ papaku bangkrut Ka,kami sekeluarga pindah ke Semarang. Dan maaf Ka,setelah itu aku tak menghubungimu,aku malu Ka…..” jawbnya datar.
            Aska mendesah. Keduanya sama-sama diam.
            “ Dini,aku masih berharap padamu. 5 tahun ini,aku tak bisa melupakanmu,” tiba-tiba kata-kata iitu mengalir begitu saja dari mulutnya.
            Dini menatap Azka bingung. Dari raut wajahnya,dia menyimpan sesuatu. Ya,sesuatu yang Azka tak boleh mengetahuinya.
            “ Azka,aku…………..” kata-katany terhenti ketika ada seorang anak laki-laki sekitar beruumur 3 tahunan berlari kearahnya.
            “ Mama,ayo pulang. Ditunggu papa….”kata anak itu manja sambil menarik-narik tangan Dini.
            Azka terkejut. Mama? Dini dipanggil mama? Siapa anak laki-laki ini?
            Azka menatap Dini lekat-lekat.
            “ iya sayang…” jawab Dini kemudian menggendongnya.
            Azka semakin tak mengerti dengan hal ini,sebelum dia mengajukan pertanyaan Dini telah berkata.
            “ ma’afkan aku Azka,1 tahun setelah pindah ke Semarang aku menikah…” katanya pelan dan hati-hati. Matanya berkaca-kaca.
            “ jadi…….?”
            “ iya ini anakku.” Jawab Dini.” Namanya Azka….”
            Azka terkejut. Jadi anak kecil ini buah hatinya? Dan namanya persis dengan nama dia. Azka merasa dunia gelap. Merasa hatinya dingin,bergetar seluruh persendian tubuhnya. Tujuan hidupnya samar.
            “ sampai jumpa Azka….” Gumam Dini kemudian meninggalkan Azka yang mematung tanpa beringsut sedikitpun. Diperhatikannya langkah Dini, tiba-tiba dia merasa ingin menangis. Ingin sekali dia kejar Dini,dan membawanya lari dan hidup bersama dirinya. Tapi niat itu urung dilakukkan ketika dilihatnya didekapan Dini ada seorang anak laki-laki mungil sedang menciuminya,sedangkan di sana diseberang jalan,ada seorang laki-laki menunggu mereka sambil melambai-lambaikan tangan. Mereka seperti sebuah keluarga yang utuh dan bahagia,membuat Azka semakin tersudut dan tersingkir.
            Azka masih tetap memperhatikan Dini,hatinya keruh dan terasa sakit. Pikrannya buntu,apalagi ketika dilihatnya 1 keluarga itu bercengkrama. Dini,ingatkah kau tentang janjimu? Sebelum masuk ke dalam mobil,Dini melihat ke arah Azka,seolah ingin mengatakan “ Azka.aku masih mencintaimu. Aku tak kan pernah melupakan janjiku,meskipun takdir berkata lain…” dan akhirnya mobil Honda Jazz warna putih itu melaju meninggalkan tempat tersebut.
            Azka menghela nafas,berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menerima kenyataan ini. dilihatnya sebentar lagi matahari terbenam,seperti hatinya yang juga terbenam beberapa saat yang lalu,dan dia tak yakin, apakah esok hati itu masih bisa terbit lagi.
            Azka kembali menghela nafas.
            “ meskipun kau tak bisa bersamaku,tapi masih ada Azka kecil yang akan selalu menemanimu. Aku bahagia kau memberikan namaku untuk anakmu. Dan aku harap kau tak pernah meninggalkanku…..” gumamnya sebelum pergi meningalkan pantai itu. Debur ombak terdengar pilu……..

Solo,5 agustus 2011.
23.05.
With love.
           


           

Selasa, 01 November 2011

Gayatri


 Gayatri menghela nafas panjang. Ditatapnya sekali lagi kertas putih di tangannya itu,kemudian dengan pandangan kecewa kertas putih itu dilipatnya kembali seperti semula, seperti ketika pertama kali dia dapatkan dari suaminya. Kembali dia menghela nafas. Tampak gurat kesedihan semakin menjalar di raut wajahnya. Bagaimana  dia tidak kecewa. Selembar kertas putih tadi,adalah sebuah surat penugasan untuk suaminya. Sebuah surat yang akan menjauhkan dia dari suaminya. Yang mungkin untuk sementara waktu,atau untuk selamanya.
Memang sudah kewajibannya sebagai istri seorang tentara,untuk selalu mengikhlaskan suaminya bertempur demi negara. Seharusnya dia bangga,karena lusa suaminya akan dikirim ke perbatasan untuk ikut serta mengamankan keadaan. Tapi sebagai manusia biasa,dalam hati kecilnya pun ada suatu perasaan sedih karena harus berpisah dengan Suwondo,suaminya.
Ditatapnya kamar pengantin yang baru mereka tempati 1 bulan ini. masih jelas di ingatannya,kemarin dia dan suaminya tampak bahagia. Menyalami undangan yang datang,dan dengan wajah berseri-seri menikmati kebersamaan mereka. Tapi hari ini berbeda,dia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa suaminya harus di kirim ke medan perang. Adilkah ini? jika pengantin baru harus dipisahkan oleh surat perintah? Tapi sekali lagi dia mengingat sesuatu. Inilah resiko menjadi istri seornag tentara.
“Kamu benar akan pergi?”tanyanya sambil memeluk suaminya erat sekali. Sementara itu wajahnya telah basah oleh linangan air mata.
Suwondo tersenyum. Dia berusaha tegar,meskipun dia juga tak dapat menyembunyikan perasaan sedihnya.
“Masih ingatkah kau dengan perjanjianmu sebelum pernikahan?”tanyanya pelan.” Inilah resiko menjadi istri seorang prajurit. Kau tak usah sedih. Ini tugasku,amanat yang diberikan negara untukku.”
Gayatri mengangguk pelan.Ditatapnya wajah suaminya itu lekat-lekat. Wajah yang ramah dan tegar. Gayatri menyadari bahwa inilah resiko menjadi istri seorang prajurit. Dan benar apa yang dikatakan suaminya,dia tidak boleh sedih. Justru dia harus tersenyum,ketika lusa suaminya akan berangkat ke perbatasan beberapa bulan lamanya. Iya,dia tak boleh bersedih.

Ketika hari keberangkatan Suwondo tiba,Gayatri memang tampak tegar. Dia berusaha menyembunyikan perasaan sedihnya. Karena dia yakin,suaminya akan pulang beberapa bulan lagi. Membawa kabar berita kemenangannya di medan pertempuran.
Gayatri mulai menyelami kehidupan ini sendiri sekarang. Meskipun Suwondo jauh darinya,tapi hatinya selalu merasa Suwondo berada disampingnya. Menemaninya tidur dan selalu menjaganya. Gayatri tak pernah sedikitpun melupakan Suwondo. Jika terkadang dadanya sesak bila merindukan suaminya,dia berusaha menghibur diri dengan menyulam. Dan akhirnya sebuah syal warna biru tua itu jadi. Dia bermaksud ingin memberikannya pada Suwondo ketika dia pulang nanti.
Tak disangka,2 bulan kemudian,Gayatri menyadari bahwa dirinya mengandung. Kebahagiannya melimpah ruah. Ingin sekali dia menyusul Suwondo ke medan pertempuran dan memberitahu kabar bahagia ini. anak yang diharapkan Suwondo dan dirinya,sebentar lagi akan lahir ke dunia. Dan anak itu juga pasti akan bangga,memiliki ayah seorang prajurit pemberani seperti suaminya.
Siang itu udara terasa panas. Gayatri berdiri di depan jendela sambil mengelus-elus perutnya yang sudah buncit. Ya,7 bulan telah berlalu sepeninggal Suwondo ke medan pertemuran. Dan usia kandungannya pun telah menginjak 7 bualn. Sebentar lagi anak itu pun akan lahir. Di tangan kirinnya memegang syal warna biru tua itu. Diamatinya dengan seksama,kemudian dielusnya pelan-pelan.
Dia baru menyadari lamunannya ketika terdengar pintu diketuk oleh seseorang.
Pelan-pelan Gayatri membuka pintu. Seorang laki-laki dengan baju militer. Perasaannya menjadi tidak enak.
“Ibu Gayatri ini ada surat.” Kata lelaki itu sopan.
Bergetar tangannya menerima surat itu. Dibukanya pelan-pelan dan kemudian dibacanya dengan seksama kertas putih itu. Kertas yang bentuk dan warnanya sama seperti yang diberikan Suwondo 7 bulan lalu.
Betapa terkejutnya dia membaca surat itu.
“Ja…Jadi….”katanya terbata-bata.
“Iya ibu,suami ibu gugur dalam pertempuran itu.”jawab laki-laki itu dengan raut muka sedih.”Tapi akhirnya,kami menang ibu. Berkat bantuan suami ibu.”
Gayatri terduduk lesu,air mata bercucuran di pipinya. Suwondo telah pergi meninggalkannya. Dia telah tiada. Ditatapnya syal warna biru tua dan perutnya yang membuncit itu. Anaknya akan lahir tanpa ayah. Dan syal biru ini,tak akan pernah sampai ke tangan Suwondo. Kenapa ini semua harus terjadi,ketika kami mulai akan membangun sebuah kehidupan yang baru? Kenapa Suwondo pergi secepat ini?
Perlahan-lahan Gayatri mulai bangun dan menyeka air matanya. Dia ingat pesan suaminya. Dia tak boleh sedih. Inilah resiko menjadi istri seorang prajurit. Harus merelakan semuanya. Tapi dalam hati dia bangga,pertempuran itu usia. Dan negara inilah yang  menjadi pemenangnya. Semua berkat Suwondo,meskipun dia harus mempertaruhkan nyawanya demi negara.
 Gayatri tersenyum. diusapnya perutnya yang buncit itu sambil bergumam.
“Kau harus bangga nak,ayahmu adalah pahlawan bangsa.”